Kami Sedih Dicap "Anak Buaya"
Selasa, 3 November 2009 | 04:02 WIB
BATAM, kompas..com — Anak-anak anggota Polri di Batam merasa terganggu dengan istilah "perang cicak dan buaya" sebagai gambaran perselisihan KPK dengan Polri akhir-akhir ini. Mereka menjadi kehilangan kepercayaan diri dengan stigma sebagai "anak buaya".
“Kami benar-benar prihatin. Kami anak-anak polisi menjadi hilang kepercayaan diri karena termakan stigmanisasi sebagai 'anak buaya',” ucap Birgal Hotmonang Sinaga, Ketua Keluarga Besar Putra-Putri Polri (KBPPP) Wilayah Batam, Rempang, dan Galang (Barelang) di Kantor Redaksi Tribun, Senin (2/11).
Sinaga yang ditemani Pauba Nainggolan, Sekretaris KBPPP menuturkan, mereka, termasuk anak-anak mereka, kini banyak mendapat sorotan miring, baik itu di tempat kerja, di sekolah, maupun di tempat umum. Padahal, wacana ini diakuinya berawal dari lontaran emosional Kabareskrim Komjen Susno Duadji selaku pribadi.
Namun, karena hal itu kemudian berkembang, akhirnya masyarakat menggeneralisasi bahwa semua anggota Polri dianalogikan sebagai buaya. “Kami tidak enak karena dengan stigma itu semua disamakan. Buaya diidentikkan dengan binatang buas, serakah, dan siap menerkam siapa saja,” katanya.
Ia mengaku, sebagai anak polisi ikut merasakan jerih payah dan besarnya tantangan yang dihadapi para orangtua mereka. Namun, ketika stigma itu merebak, jasa yang diberikan selama ini dalam sekejap hilang sama sekali.
“Bapak-bapak kami selalu berpanas-panas, tantangan di lapangan begitu beasr. Namun, seakan tak ada lagi penghargaan karena stigma buaya. Itu sama halnya dengan stigma yang sempat mengemuka bahwa anggota DPR senang tidur. Maka, sebagai anak-anak anggota DPR/DPRD menjadi ikut terimbas dengan cap demikian,” keluhnya.
Sinaga berharap masyarakat Batam bersikap bijaksana. elemen-elemen masyarakat yang ada di Batam dan Kepulauan Riau pada umumnya, sebaiknya bisa menahan diri, apalagi jika harus melakukan tindakan-tindakan destruktif.
“Kami mendengar ada lembaga kemahasiswaan yang menginstruksikan ke semua daerah menggelar aksi. Kami merasa prihatin karena sebenarnya harus menahan diri dan bisa menempatkan diri secara proporsional,” katanya.
Terkait keberadaan KPK ataupun Polri, mereka menganggap sebagai lembaga yang sama memiliki tugas mengawal negara. Sesuai amanat reformasi, untuk menggulung tindak korupsi, KPK adalah lembaga yang sangat terhormat kedudukannya. Pun dengan Polri. Sebagai alat negara, Korp Polri juga memiliki tugas untuk menegakkan supremasi hukum.
“Untuk itulah kami di Batam justru berupaya menyosialisasikan slogan 'Saya Cipika'. Itu akronim dari 'Saya Cinta Polisi dan KPK',” kata Sinaga lagi.
Dijelaskan, KBPPP merupakan wadah bagi anak-anak anggota Polri di jajaran Poltabes Barelang. Lembaga ini tidak terkait dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti FKPPI atau sejenisnya. Anggotanya mencapai ratusan orang. (pwk/persda network/cr2)
sumber : http://regional.kompas..com/read/xml...cap.Anak.Buaya
Selasa, 3 November 2009 | 04:02 WIB
BATAM, kompas..com — Anak-anak anggota Polri di Batam merasa terganggu dengan istilah "perang cicak dan buaya" sebagai gambaran perselisihan KPK dengan Polri akhir-akhir ini. Mereka menjadi kehilangan kepercayaan diri dengan stigma sebagai "anak buaya".
“Kami benar-benar prihatin. Kami anak-anak polisi menjadi hilang kepercayaan diri karena termakan stigmanisasi sebagai 'anak buaya',” ucap Birgal Hotmonang Sinaga, Ketua Keluarga Besar Putra-Putri Polri (KBPPP) Wilayah Batam, Rempang, dan Galang (Barelang) di Kantor Redaksi Tribun, Senin (2/11).
Sinaga yang ditemani Pauba Nainggolan, Sekretaris KBPPP menuturkan, mereka, termasuk anak-anak mereka, kini banyak mendapat sorotan miring, baik itu di tempat kerja, di sekolah, maupun di tempat umum. Padahal, wacana ini diakuinya berawal dari lontaran emosional Kabareskrim Komjen Susno Duadji selaku pribadi.
Namun, karena hal itu kemudian berkembang, akhirnya masyarakat menggeneralisasi bahwa semua anggota Polri dianalogikan sebagai buaya. “Kami tidak enak karena dengan stigma itu semua disamakan. Buaya diidentikkan dengan binatang buas, serakah, dan siap menerkam siapa saja,” katanya.
Ia mengaku, sebagai anak polisi ikut merasakan jerih payah dan besarnya tantangan yang dihadapi para orangtua mereka. Namun, ketika stigma itu merebak, jasa yang diberikan selama ini dalam sekejap hilang sama sekali.
“Bapak-bapak kami selalu berpanas-panas, tantangan di lapangan begitu beasr. Namun, seakan tak ada lagi penghargaan karena stigma buaya. Itu sama halnya dengan stigma yang sempat mengemuka bahwa anggota DPR senang tidur. Maka, sebagai anak-anak anggota DPR/DPRD menjadi ikut terimbas dengan cap demikian,” keluhnya.
Sinaga berharap masyarakat Batam bersikap bijaksana. elemen-elemen masyarakat yang ada di Batam dan Kepulauan Riau pada umumnya, sebaiknya bisa menahan diri, apalagi jika harus melakukan tindakan-tindakan destruktif.
“Kami mendengar ada lembaga kemahasiswaan yang menginstruksikan ke semua daerah menggelar aksi. Kami merasa prihatin karena sebenarnya harus menahan diri dan bisa menempatkan diri secara proporsional,” katanya.
Terkait keberadaan KPK ataupun Polri, mereka menganggap sebagai lembaga yang sama memiliki tugas mengawal negara. Sesuai amanat reformasi, untuk menggulung tindak korupsi, KPK adalah lembaga yang sangat terhormat kedudukannya. Pun dengan Polri. Sebagai alat negara, Korp Polri juga memiliki tugas untuk menegakkan supremasi hukum.
“Untuk itulah kami di Batam justru berupaya menyosialisasikan slogan 'Saya Cipika'. Itu akronim dari 'Saya Cinta Polisi dan KPK',” kata Sinaga lagi.
Dijelaskan, KBPPP merupakan wadah bagi anak-anak anggota Polri di jajaran Poltabes Barelang. Lembaga ini tidak terkait dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti FKPPI atau sejenisnya. Anggotanya mencapai ratusan orang. (pwk/persda network/cr2)
sumber : http://regional.kompas..com/read/xml...cap.Anak.Buaya
0 komentar:
Post a Comment